Kitab Sutasoma
judul asli dari naskah yang sangat terkenal ini adalah
Purushada. Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin pada masa
puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Karena
keterbatasan alat tulis pada masa itu, maka naskah sutasoma dibuat di atas
lembaran daun lontar. Sejatinya, kitab ini merupakan sebuah kakawin. Kakawin
sendiri merupakan istilah untuk tembang atau syair dalam bahasa jawa kuno.
Iramanya di sesuaikan dan didasarkan pada irama dari india. Sehingga, untuk dapat
mempelajari atau bahkan membaca sebuah kakawin diperlukan keahlian khusus.[1]
Kitab Arjunawijaya
Arjunawijaya merupakan kakawin lain yang ditulis oleh tangan
Mpu Tantular. Kakawin atau kitab ini menceritakan mengenai peperangan antara
Prabu Arjuna Sahasrabahu dan pendeta Parasu Rama. Tampaknya karya Mpu Tantular
memang selalu terkenal, karena selain sutasoma, naskah ini pun sangat populer.
Dikatakan begitu karena begitu banyak naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna.[2]
Kitab Sudayana
Sedikit berbeda dengan kitab sebelum-sebelumnya, kitab
sudayana ini merupakan sebuah kidung sunda. Dalam kitab ini disebutkan beberapa
informasi penting mengenai perang bubat. Perang bubat sendiri merupakan sebuah
perang yang pada mulanya merupakan sebuah rencana pernikahan. Rencana
perkawinan tersebut berujung menjadi peperangan antara Majapahit dan Pajajaran.
Dalam bait 1 disebutkan bahwa kerajaan sunda Galuh berlayar dari tanah sunda ke
ujung jawa timur dengan membawa armada.
Armada yang disebutkan dalam kitab ini berjumlah 2000 kapal berikut kapal-kapal kecilnya. Dalam tradisi jawa, dimanapun, dalam sebuah acara pernikahan, laki-laki lah yang harus datang ke tempat calon istri. Namun, pada peristiwa ini. Paduka Sri Baduga Maharalah yang mengantarkan Citraresmi atau Dyah Pitaloka kepada calon suaminya. Perang Bubat berakhir dengan kalahnya kerajaan Sunda Galuh, dan Dyah Pitaloka yang dikisahkan bunuh diri setelah peperangan berakhir.[3]
Armada yang disebutkan dalam kitab ini berjumlah 2000 kapal berikut kapal-kapal kecilnya. Dalam tradisi jawa, dimanapun, dalam sebuah acara pernikahan, laki-laki lah yang harus datang ke tempat calon istri. Namun, pada peristiwa ini. Paduka Sri Baduga Maharalah yang mengantarkan Citraresmi atau Dyah Pitaloka kepada calon suaminya. Perang Bubat berakhir dengan kalahnya kerajaan Sunda Galuh, dan Dyah Pitaloka yang dikisahkan bunuh diri setelah peperangan berakhir.[3]
0 Komentar